fakta keterlibatan TNI AD dalam G30SPKI
Fakta Terlibatnya TNI AD dalam
G 30S PKI
• Adanya
isu revolusi dewan jendral oleh TNI
• Adanya
ide pembentukan angkatan kelima dari PKI
• Benedict
anderson dan Ruth McVey, mengemukakan suatu hipotesa yang intinya
bahwa G30S adalah masalah
internal angkatan darat
• Suatu
gerakan yang dilakukan kelompok didalam TNI yang keseluruhannya diotaki PKI
• Suatu
gerakan yang di intepretasikan sebagai suatu komplotan antara
perwira pembelot dengan pemimpin-pemimpin PKI
Penjelasan Fakta
• 1.
Dari pihak Angkatan Darat, perpecahan internal yang terjadi mulai mencuat
ketika banyak tentara yang kebanyakan dari Divisi
Diponegoro yang kesal serta kecewa kepada sikap petinggi Angkatan
Darat yang takut kepada Malaysia, berperang hanya dengan setengah hati, dan
berkhianat terhadap misi yang diberikan Soekarno. Mereka memutuskan untuk
berhubungan dengan orang-orang dari PKI untuk membersihkan tubuh Angkatan Darat
dari para jenderal ini.
• 2.
Pada saat-saat yang genting sekitar bulan September 1965 muncul isu
adanya Dewan
Jenderal yang mengungkapkan adanya beberapa petinggi Angkatan Darat
yang tidak puas terhadap Soekarno dan berniat untuk menggulingkannya.
Menanggapi isu ini, Soekarno disebut-sebut memerintahkan pasukan Cakrabirawa
untuk menangkap dan membawa mereka untuk diadili oleh Soekarno. Namun yang
tidak diduga-duga, dalam operasi penangkapan jenderal-jenderal tersebut,
terjadi tindakan beberapa oknum yang termakan emosi dan membunuh Letjen Ahmad
Yani, Panjaitan, dan Harjono
Latar Belakang
PKI adalah parpol yang ada di
indonesia yang berideologi komunis. Dalam sejarahnya PKI pernah melakukan
pemberontakan melawan kolonial belanda diantaranya: pemberontakan PKI di
madiun 1948, serta dituduh membunuh 6 jendral TNI AD di jakarta pada
tanggal 30 september 1965 (G30S PKI).
Korban Pemberontakan G 30S/PKI
1. Ahmad Yani,
2. Donald Ifak Panjaitan,
3. M.T. Haryono
4. Piere Tendean,
5. Siswono Parman,
6. Suprapto,
7. Sutoyo Siswomiharjo
Isu Dewan Jenderal
Pada saat-saat yang genting
sekitar bulan September 1965 muncul isu adanya Dewan Jenderal yang
mengungkapkan adanya beberapa petinggi Angkatan Darat yang tidak puas terhadap
Soekarno dan berniat untuk menggulingkannya. Menanggapi isu ini, Soekarno
disebut-sebut memerintahkan pasukan Cakrabirawa untuk menangkap dan membawa
mereka untuk diadili oleh Soekarno. Namun yang tidak diduga-duga, dalam operasi
penangkapan jenderal-jenderal tersebut, terjadi tindakan beberapa oknum yang
termakan emosi dan membunuh Letjen Ahmad Yani, Panjaitan, dan Harjono. GBU
Angkatan kelima
Pada kunjungan Menteri Luar
Negeri Subandrio ke Cina, Perdana Menteri Zhou Enlai menjanjikan untuk
mempersenjatai 40 batalion tentara secara lengkap, penawaran ini gratis tanpa
syarat dan kemudian dilaporkan ke Presiden Soekerno tetapi belum juga menetapkan
waktunya sampai meletusnya G30S. Pada awal tahun 1965 Presiden Soekarno
mempunyai ide tentang Angkatan Kelima yang berdiri sendiri terlepas dari ABRI.
Pandangan lain mengatakan bahwa PKI-lah yang mengusulkan pembentukan Angkatan
Kelima tersebut dan mempersenjatai mereka. Tetapi petinggi Angkatan Darat tidak
setuju dan hal ini lebih menimbulkan nuansa curiga-mencurigai antara militer
dan PKI. (Sundhaussen, 1986 : 316)
Sejak tahun 1963, kepemimpinan
PKI semakin lama semakin berusaha menghindari bentrokan-bentrokan antara
aktivis massanya dengan polisi dan militer. Pemimpin-pemimpin PKI mengutamakan
"kepentingan bersama" polisi dan "rakyat". Pemimpin PKI DN
Aidit mengilhami slogan "Untuk Ketentraman Umum Bantu Polisi". Di
bulan Agustus 1964, Aidit menganjurkan semua anggota PKI membersihkan diri dari
"sikap-sikap sektarian" kepada angkatan bersenjata, mengimbau semua
pengarang dan seniman sayap-kiri untuk membuat "massa tentara" subyek
karya-karya mereka. Aidit memberikan ceramah kepada siswa-siswa sekolah
angkatan bersenjata di mana ia berbicara tentang "perasaan kebersamaan dan
persatuan yang bertambah kuat setiap hari antara tentara Republik Indonesia dan
unsur-unsur masyarakat Indonesia, termasuk para komunis". (Nasution, 1987
: 80)
Namun pada akhir tahun 1964
dan permulaan tahun 1965 ratusan ribu petani bergerak merampas tanah dari para
tuan tanah besar. Bentrokan-bentrokan besar terjadi antara mereka dan polisi
dan para pemilik tanah. Untuk mencegah berkembangnya konfrontasi revolusioner
itu, PKI mengimbau semua pendukungnya untuk mencegah pertentangan menggunakan
kekerasan terhadap para pemilik tanah dan untuk meningkatkan kerjasama dengan
unsur-unsur lain, termasuk angkatan bersenjata. Pada permulaan tahun 1965, para
buruh mulai menyita perusahaan-perusahaan karet dan minyak milik Amerika
Serikat (AS). Kepemimpinan PKI menjawab ini dengan memasuki pemerintahan dengan
resmi. Pada waktu yang sama, jendral-jendral militer tingkat tinggi juga
menjadi anggota kabinet. Menteri-menteri PKI tidak hanya duduk di sebelah para
petinggi militer di dalam kabinet Soekarno ini, tetapi mereka terus mendorong
ilusi yang sangat berbahaya bahwa angkatan bersenjata adalah merupakan bagian
dari revolusi demokratis "rakyat". (Sundhaussen, 1986: 323)
Tidak lama PKI mengetahui
dengan jelas persiapan-persiapan untuk pembentukan pemerintahan militer,
menyatakan keperluan untuk pendirian "angkatan kelima" di dalam
angkatan bersenjata, yang terdiri dari pekerja dan petani yang bersenjata.
Bukannya memperjuangkan mobilisasi massa yang berdiri sendiri untuk melawan
ancaman militer yang sedang berkembang itu, kepemimpinan PKI malah berusaha
untuk membatasi pergerakan massa yang makin mendalam ini dalam batas-batas
hukum kapitalis negara. PKI di hadapan jendral-jendral militer, berusaha
menenangkan bahwa usul mereka akan memperkuat negara. Aidit menyatakan dalam
laporan ke Komite Sentral PKI bahwa "NASAKOMisasi" angkatan
bersenjata dapat dicapai dan mereka akan bekerjasama untuk menciptakan
"angkatan kelima". Kepemimpinan PKI tetap berusaha menekan aspirasi
revolusioner kaum buruh di Indonesia. Di bulan Mei 1965, Politbiro PKI masih
mendorong ilusi bahwa aparatur militer dan negara sedang diubah untuk
mengecilkan aspek anti-rakyat dalam alat-alat negara. (Sundhaussen, 1986 : 317)
Faktor Malaysia
Negara Federasi Malaysia yang
baru terbentuk pada tanggal 16 September 1963 adalah salah satu faktor penting
dalam insiden ini. Konfrontasi Indonesia-Malaysia merupakan salah satu penyebab
kedekatan Presiden Soekarno dengan PKI, menjelaskan motivasi para tentara yang
menggabungkan diri dalam gerakan G30S/Gestok (Gerakan Satu Oktober).
Presiden Soekarno yang murka
dan mengutuk tindakan Tunku yang menginjak-injak lambang negara Indonesia dan
ingin melakukan balas dendam dengan melancarkan gerakan yang terkenal dengan
sebutan "Ganyang Malaysia" kepada negara Federasi Malaysia yang telah
sangat menghina Indonesia. Perintah Soekarno kepada Angkatan Darat untuk
mengganyang Malaysia ditanggapi dengan dingin oleh para jenderal pada saat itu.
Di satu pihak Letjen Ahmad Yani tidak ingin melawan Malaysia yang dibantu oleh
Inggris dengan anggapan bahwa tentara Indonesia pada saat itu tidak memadai
untuk peperangan dengan skala tersebut, sedangkan di pihak lain Kepala Staf TNI
Angkatan Darat A.H. Nasution setuju dengan usulan Soekarno karena ia
mengkhawatirkan isu Malaysia ini akan ditunggangi oleh PKI untuk memperkuat
posisinya di percaturan politik di Indonesia. Posisi Angkatan Darat pada saat
itu serba salah karena di satu pihak mereka tidak yakin mereka dapat
mengalahkan Inggris, dan di lain pihak mereka akan menghadapi Soekarno yang
akan marah jika mereka tidak melaksanakan perintahnya. Akhirnya para pemimpin
Angkatan Darat memilih untuk berperang setengah hati di Kalimantan. Tak heran,
Brigadir Jenderal Suparjo, komandan pasukan di Kalimantan Barat, mengeluh,
konfrontasi tak dilakukan sepenuh hati dan ia merasa operasinya disabotase dari
belakang. Hal ini juga dapat dilihat dari kegagalan operasi gerilya di
Malaysia, padahal tentara Indonesia sebenarnya sangat mahir dalam peperangan
gerilya. (Sundhaussen, 1986: 168-169)
Dari pihak Angkatan Darat,
perpecahan internal yang terjadi mulai mencuat ketika banyak tentara yang
kebanyakan dari Divisi Diponegoro yang kesal serta kecewa kepada sikap petinggi
Angkatan Darat yang takut kepada Malaysia, berperang hanya dengan setengah
hati, dan berkhianat terhadap misi yang diberikan Soekarno. Mereka memutuskan
untuk berhubungan dengan orang-orang dari PKI untuk membersihkan tubuh Angkatan
Darat dari para jenderal ini. (Nasution, 1987: 87)
Isu Dokumen Gilchrist
Dokumen Gilchrist yang diambil
dari nama duta besar Inggris untuk Indonesia Andrew Gilchrist beredar hampir
bersamaan waktunya dengan isu Dewan Jenderal. Dokumen ini, yang oleh beberapa
pihak disebut sebagai pemalsuan oleh intelejen Ceko di bawah pengawasan
Jenderal Agayant dari KGB Rusia, menyebutkan adanya "Teman Tentara Lokal
Kita" yang mengesankan bahwa perwira-perwira Angkatan Darat telah dibeli
oleh pihak Barat. Kedutaan Amerika Serikat juga dituduh memberikan daftar
nama-nama anggota PKI kepada tentara untuk "ditindaklanjuti". Dinas
intelejen Amerika Serikat mendapat data-data tersebut dari berbagai sumber,
salah satunya seperti yang ditulis John Hughes, wartawan The Nation yang menulis
buku "Indonesian Upheaval", yang dijadikan basis skenario film
"The Year of Living Dangerously", ia sering menukar data-data yang ia
kumpulkan untuk mendapatkan fasilitas teleks untuk mengirimkan berita.
(Sundhaussen, 1986: 200)
Menurut Soebandrio (2006: 40),
isi dokumen itu nilai sangat gawat. Inti dari dokumen itu adalah bahwa Andrew
Gilchrist melaporkan kepada atasannya di Kementrian Luar Negeri Inggris yang
mengarah pada dukungan Inggris untuk menggulingkan Presiden Soekarno. Di sana
ada pembicaraan Gilchrist dengan seorang koleganya yang berkebangsaan Amerika
tentang persiapan suatu operasi militer di Indonesia. Disebutkan bahwa adanya
salah satu paragraf yang berbunyi ”rencana ini cukup dilakukan bersama our
local army friends.”
Penentangan
terhadap versi pertama di ungkapkan oleh benedict aderson dan ruthmcvey pada
tahun 1966. Merka berdua mengatakan bahwa G30S berawal dari persalan intern TNI
AD. Dalam teorinya yang kemudian yang di terbitkan dan di kenal sebagai
“cornell paper” (1971) beberapa perwira TNI AD dari kodam IV /di ponegoro kesal
melihat para jendral hidup berfoya foya di Jakarta. Para perwira jawa tengah
itu kemudian mengajak angatan udara republic Indonesia (AURI) dan PKI dalam
menjalankan operasinya . versi ini agak lemah karena faktanya brigjen supardjo
berasal dari kodam siiwangi demikian juga mayor udara Sujono , walaupun memang
untung dan latif dari kodm IV di ponegoro. Maka kemudian versi ini di tengahi
oleh Harold crouch dalam the army and politik 1978 yang menolak kornel peper
dengan mengatakan bahwa inisiatif awal gerakan ini timbul dari tubuh TNI AD
sedangkan PKI bertindak sebagai pemain kedua dengan mengacu pada keterlibatkan
SJAM KAMARUZAMAN dan pono dari biro kusus PKI . tetapi versi inipun tidak menjelaskan
lebih lanjut tentang mengapa gerakan dirancang dengan buruk dan mengapa
selangwaktu pengumuman pertama dan kedua berselang 5 jam pdahal kunci kudeta
adalah pada kecepatan dan ketepatan waktu
Comments
Post a Comment